Senin, 02 Mei 2016

SEKOLAH KEHIDUPAN part 2


Melalui berbagai pertimbangan, berbagai sikap kepo yang mendalam, melihat di beberapa akun orang tua tentang Salam, akhirnya aku memutuskan oke mari kita coba untuk bergabung di Salam. Singkat cerita awal mula aku bisa bergabung dengan Salam ada di tulisan part 1.



  Satu minggu trial, aku bisa melihat sedikit banyak tentang bagaimana cara mereka bermain sambil belajar. Untuk kelas TA(sama dengan TK) fasilitator yang akan mengikuti alur keingin tahuan si anak, tidak akan ada yang digiring untuk duduk kemudian membuka buku dan menulis. Anak ingin menggambar, fasilitator mengikuti, anak ingin bermain di luar kelas fasilitator mengikuti. Anak-anak belajar secara menyenangkan menurut apa yang ingin mereka ketahui.


  Masa trial berlalu, aku berdiskusi dengan anak-anak, mengingat yang mau menjalani adalah mereka, kami sebagai orang tua hanya mendukung dan mengarahkan keputusan mereka. Anak-anak setuju terutama Kayla, karena yang butuh perhatian khusus sebetulnya adalah Kayla. Kami sepakat untuk ikut bergabung di Salam, dengan kesepakatan aku akan selalu ada sampai dia dan adiknya Kanaya sudah siap untuk bermain tanpa bundanya.


Waktu berjalan, ternyata banyak yang harus di lalui ya, hehe..


  Mereka baik-baik saja, justru perhatian yang luar biasa datang dari lingkungan sekitar. Aku menyebut perhatian, karena menurutku itu sangat luar biasa, hahaha… berbagai pertanyaan silih berganti datang sampai hampir setiap hari mengulang jawaban yang sama untuk orang yang berbeda.

Sedikit gambaran, Salam adalah sekolah yang semi homeschooling menurut pengamatanku, orang tua, anak, fasilitator saling bersinergi untuk menciptakan anak-anak yang berkualitas. Salam hadir dari berbagai macam suku dan agama, jadi tidak ada pembekalan agama secara khusus. Salam menggunakan ijazah kesetaraan sebagai syarat untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Sudah terbayang pertanyaan apa yang aku dapatkan? hehehe

Bahkan mungkin bukan hanya pertanyaan, tapi bersinggungan karena beda jalan pemikiranpun ada. 

Sering kali mendapat pertanyaan :


“anak-anak sekolah di sana tidak khawatir dengan pendidikan agamanya?tidak ada pembekalan agama?


  Aku selalu jawab panjang lebar, bahwa semenjak anak-anak masih di dalam kandungan, pembekalan agama itu sudah kami berikan sebagai orang tua. Belajar agama itu yang paling maksimal tumbuh dari keluarga. Anak-anak akan melihat seperti apa orang tuanya beribadah, orang tua lah yang mempunyai tanggung jawab mengenalkan Sang pemberi hidup kepada anak-anaknya. Tidak ada sedikitpun ke khawatiran dalam hatiku, Alhamdulillah aku bersyukur, anak-anak tahu kewajiban mereka terhadap Tuhan-nya. Anak-anak mampu berdampingan dan saling menghormati.


  Untuk aku dan  suami, itu bukan masalah besar yang harus dipikirkan. Kami Insya Allah yakin akan tetap menjaga akidah kami dan mampu berdampingan dengan perbedaan. Justru dengan kami menempatkan anak-anak dengan berbagai keragaman, mereka mampu menumbuhkan sikap saling menghargai, dan sikap tanggung jawab. Kami orang tua ataupun anak-anak, duduk dalam satu lantai berdoa dengan cara kami masing-masing. Ada yang  aneh kah? TIDAK. Semua berjalan dengan khidmat dan baik … Agama itu urusan masing-masing orang dengan Sang pencipta, indah bukan? Kalau dalam Islam ada Hablum Minallah dan Hablum Minannas. Hubungan dengan Sang pencipta dan hubungan dengan sesama manusia. Hubungan dengan Sang pencipta biar hanya hati kita masing-masing yang tahu,  dan hubungan dengan sesama manusia tetap berjalan berdampingan dengan damai.

Nahhh… jadi sepanjang itu jawaban untuk satu pertanyaan, hehe. Disamping pendidikan agama, kita juga harus mendukungnya dengan pendidikan moral untuk anak-anak. Agar anak-anak mampu mempunyai sikap yang santun, terpuji dan tidak merugikan orang lain dan lingkungan sekitar, agar anak-anak mampu mengambil sikap dengan rasa tanggung jawab.




Pertanyaan yang selanjutnya paling sering ditanyakan adalah…


“anak-anak ngga pake seragam?” “apa anak-anak bias bersaing dengan dunia luar kalau belajarnya seperti itu?”


  Oke! Jawabannya akan panjang lagi… hihihi

Anak-anak di Salam memang belajar tanpa seragam, dan entah kenapa anak-anak justru merasa nyaman dengan hal ini, khususnya anak-anakku, mereka bisa memakai apa saja yang mereka mau, pakai celana pendek, kaos, apapun lahhh. Bawa ganti baju kalau perlu, karena anak-anak suka nyemplung di sungai, main di sawah, yaa mereka bebas berkotor-kotoran.

Kita beralih ke system belajar, Salam menerapkan ijazah standar kesetaraan, hal ini yang banyak menjadi pertanyaan banyak orang di sekitarku, “hanya ijazah paket?”, “nanti bisa kuliah?, bisa kerja?”. Ooohhh mungkin yang nanya mainnya kurang jauh pikirku, hehehe… Ijazah kesetaraan sekarang sudah jauh diterima dalam masyarakat. Sudah bisa bersaing dengan dunia luar.



  Untukku pribadi, ijazah itu bukan hal yang menakutkan, bukan hal yang harus dipikirkan terlalu dalam. Yang jadi pemikiran utamaku  dan suami adalah bagaimana anak-anak mampu tumbuh secara mandiri, mandiri secara sikap dan mental, bisa berguna untuk orang lain dan lingkungan sekitar, mampu belajar dengan cara yang benar-benar mereka pahami, meskipun mereka akan memilih jalur non formal. Berpikir bagaimana mereka mempunya sikap yang santun dalam kehidupan, yaaa ijazah itu nomer sekian untukku.


  Beberapa bulan anak-anak di Salam, fokus pada Kayla karena sebetulnya yang punya sedikit trauma adalah Kayla, dia sudah mampu mengelola emosinya, mampu menemukan cara belajar yang menyenangkan menurut dia. Aku tidak pernah menyuruh dia untuk menulis, belajar angka, belajar huruf, jika dia membuka buku, itu atas kemauan dia, aku hanya mengamati, mengikuti alurnya dia mau ngapain. Yaaa… itu tujuan kami sebagai orang tua, memberikan ruang seluas-luasnya untuk anak bereksplorasi, memberikan ruang yang paling nyaman untuk anak-anak berkembang….